Kode Pos Seluruh Indonesia Tahun 2024
Provinsi, Kota/Kabupaten, Kecamatan/Distrik, Kelurahan/Desa
Saat ini kami memiliki 81248 data kode pos dari seluruh indonesia, terdiri dari 38 Provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.506 kelurahan, dan 74.961 desa
Daftar Kode Pos Provinsi RIAU
No | Provinsi | Kabupaten | Kecamatan | Kelurahan/Desa | Kode Pos |
---|---|---|---|---|---|
1 | RIAU | PEKANBARU | PEKANBARU KOTA | SUKA RAMAI | 28111 |
2 | RIAU | PEKANBARU | PEKANBARU KOTA | SUMA HILANG | 28111 |
3 | RIAU | PEKANBARU | PEKANBARU KOTA | KOTA TINGGI | 28112 |
4 | RIAU | PEKANBARU | PEKANBARU KOTA | KOTA BARU | 28114 |
5 | RIAU | PEKANBARU | PEKANBARU KOTA | TANAH DATAR | 28115 |
6 | RIAU | PEKANBARU | PEKANBARU KOTA | SIMPANG EMPAT | 28116 |
7 | RIAU | PEKANBARU | SUKAJADI | SUKAJADI | 28121 |
8 | RIAU | PEKANBARU | SUKAJADI | HARJOSARI | 28122 |
9 | RIAU | PEKANBARU | SUKAJADI | KEDUNGSARI | 28123 |
10 | RIAU | PEKANBARU | SUKAJADI | KAMPUNG MELAYU | 28124 |
Sekilas mengenai Provinsi RIAU
Riau diduga telah dihuni sejak masa antara 10.000-40.000 SM. Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat dari zaman Pleistosin di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Agustus 2009. Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut dan serpih. Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu. Diduga manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus erectus seperti yang pernah ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah. Penemuan bukti ini membuktikan ada kehidupan lebih tua di Riau yang selama ini selalu mengacu pada penemuan Candi Muara Takus di Kampar sebagai titik awalnya.[13][14] Masa prakolonial[sunting | sunting sumber] Pada awal abad ke-16, Tome Pires, seorang penjelajah Portugal, mencatat dalam bukunya, Suma Oriental bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatra antara suatu daerah yang disebutnya Arcat (sekitar Aru dan Rokan) hingga Jambi adalah pelabuhan dagang yang dikuasai oleh raja-raja dari Minangkabau.[15] Di wilayah tersebut, para pedagang Minangkabau mendirikan kampung-kampung perdagangan di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Indragiri. Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi Pekanbaru, yang kini menjadi ibu kota provinsi. Sejarah Riau pada masa pra-kolonial didominasi beberapa kerajaan otonom yang menguasai berbagai wilayah di Riau. Kerajaan yang terawal, Kerajaan Keritang, diduga telah muncul pada abad keenam, dengan wilayah kekuasaan diperkirakan terletak di Keritang, Indragiri Hilir. Kerajaan ini pernah menjadi wilayah taklukan Majapahit, namun seiring masukkan ajaran Islam, kerajaan tersebut dikuasai pula oleh Kesultanan Melaka. Selain kerajaan ini, terdapat pula Kerajaan Kemuning, Kerajaan Batin Enam Suku, dan Kerajaan Indragiri, semuanya diduga berpusat di Indragiri Hilir.[16] hingga kedatangan kolonial, terdapat beberapa kerajaan dan kesultanan di Riau. Kerajaan Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Rokan IV Koto dan Kunto Darussalam menguasai kawasan hulu sungai Rokan dan anak sungainya yang sekarang menjadi kabupaten Rokan Hulu. Kerajaan Kampar Kiri dan Singingi menguasai kawasan sehilir sungai Kampar Kiri dan Singingi yang sekarang menjadi sebagian wilayah kabupaten Kampar dan sebagian wilayah kabupaten Kuantan Singingi. Kerajaan Kuantan menguasai kawasan sehilir sungai Kuantan yang sekarang menjadi sebagian wilayah kabupaten Kuantan Singingi. Kesultanan Siak Sri Inderapura menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, kota Dumai, Siak, Kepulauan Meranti, sebagian kota Pekanbaru, kawasan sehilir sungai Tapung Kiri dan kanan serta Taratak Buluh dan sekitarnya yang sekarang masuk kabupaten Kampar. Kesultanan Pelalawan menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Pelalawan. Dan kesultanan Indragiri menguasai kawasan yang sekarang menjadi kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir, sedangkan sebagian kawasan pesisir Indragiri dulunya menjadi wilayah kesultanan Lingga–Riau yang berpusat di Daik Lingga. Kawasan sehilir sungai Kampar Kanan dipimpin oleh Datuk-datuk adat mereka sendiri. Masa kerajaan Melayu[sunting | sunting sumber] Kesultanan Indragiri[sunting | sunting sumber] Kesultanan Indragiri didirikan pada tahun 1298 oleh Raja Merlang I, yang uniknya tidak berkedudukan di Indragiri, melainkan di Melaka.[17] Urusan pemerintahan diserahkan pada para pembesar tradisional. Baru pada masa kekuasaan Narasinga II sekitar tahun 1473, para raja Indragiri mulai menetap di pusat pemerintahannya di Kota Tua.[16][17] Pada tahun 1815, di bawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat, yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu. Pada masa inilah Belanda mulai campur tangan dengan urusan internal Indragiri, termasuk dengan mengangkat seorang Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap.[16] Dengan adanya traktat perdamaian dan persahabatan yang ditandatangani pada tanggal 27 September 1938 antara Indragiri dengan Belanda, maka Kesultanan Indragiri menjadi zelfbestuur lindungan Belanda, dipimpin seorang controleur yang memegang wewenang mutlak terhadap kekuasaan lokal.[16] Kesultanan Siak[sunting | sunting sumber] Sultan Siak bersama para tetua adat di afdeling Bengkalis pada 1888. Siak menyerahkan Bengkalis kepada Belanda pada tahun 1873. Kesultanan Siak Sri Inderapura didirikan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung pada tahun 1723.[18] Siak segera saja menjadi sebuah kekuatan besar yang dominan di wilayah Riau: atas perintah Raja Kecil, Siak menaklukkan Rokan pada 1726 dan membangun pangkalan armada laut di Pulau Bintan.[19] Namun keagresifan Raja Kecil ini segera ditandingi oleh orang-orang Bugis pimpinan Yang Dipertuan Muda dan Raja Sulaiman. Raja Kecil terpaksa melepaskan pengaruhnya untuk menyatukan kepulauan-kepulauan di lepas pantai timur Sumatra di bawah bendera Siak, meskipun antara tahun 1740 hingga 1745 ia bangkit kembali dan menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.[20] Pada akhir abad ke-18, Siak telah menjelma menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatra. Pada tahun 1761, Sultan Abdul Jalil Syah III mengikat perjanjian eksklusif dengan Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di dalam tubuh kesultanan yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi penguasa Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatra sampai ke Laut Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[21] Tahun 1780, Siak menaklukkan daerah Langkat, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama mereka dengan VOC, pada tahun 1784 Siak membantu tentara Belanda menyerang dan menundukkan Selangor, dan sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat. Masa kolonial Belanda[sunting | sunting sumber] Wilayah zelfbestuur di Sumatra Tengah, 1941. Invasi Belanda yang agresif ke pantai timur Sumatra tidak dapat dihadang oleh Siak. Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Keresidenan Riau (Residentie Riouw) di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.[22] Para sultan Siak tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat perjanjian dengan Belanda. Kedudukan Siak semakin melemah dengan adanya tarik-ulur antara Belanda dan Inggris yang kala itu menguasai Selat Melaka, untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur Sumatra. Para sultan Siak saat itu terpaksa menyerah kepada kehendak Belanda dan menandatangani perjanjian pada Juli 1873 yang menyerahkan Bengkalis kepada Belanda, dan mulai saat itu, wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan Siak satu demi satu berpindah tangan kepada Belanda. Pada masa yang hampir bersamaan, Indragiri juga mulai dipengaruhi oleh Belanda, namun akhirnya baru benar-benar berada di bawah kekuasaan Batavia pada tahun 1938. Penguasaan Belanda atas Siak kelak menjadi awal pecahnya Perang Aceh. Di pesisir, Belanda bergerak cepat menghapuskan kerajaan-kerajaan yang masih belum tunduk. Belanda menunjuk seorang residen di Tanjung Pinang untuk mengawasi daerah-daerah pesisir, dan Belanda berhasil memakzulkan Sultan Riau-Lingga, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah pada Februari 1911.[23] Pendudukan Jepang[sunting | sunting sumber] Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Riau menjadi salah satu sasaran utama untuk diduduki. Bala tentara Jepang menduduki Rengat pada 31 Maret 1942.[16] Seluruh Riau dengan cepat tunduk di bawah pemerintahan Jepang. Salah satu peninggalan masa pendudukan Jepang adalah jalur kereta api sepanjang 220 km yang menghubungkan Muaro Sijunjung dan Pekanbaru yang terbengkalai. Ratusan ribu rakyat Riau dipaksa bekerja oleh tentara Jepang untuk menyelesaikan proyek ini.[24][25][26] Era kemerdekaan[sunting | sunting sumber] Rumah Adat Balai Selasar Jatuh Tunggal, Rumah Adat Riau di Taman Mini Indonesia Indah, DKI Jakarta. Revolusi nasional dan Orde Lama[sunting | sunting sumber] Pada awal kemerdekaan Indonesia, bekas wilayah Keresidenan Riau dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatra yang berpusat di Medan. Seiring dengan penumpasan simpatisan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Provinsi Sumatra dimekarkan lagi menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatera Selatan. Ketika itu, Sumatra Tengah menjadi basis terkuat dari PRRI, situasi ini menyebabkan pemerintah pusat membuat strategi memecah Sumatra Tengah dengan tujuan untuk melemahkan pergerakan PRRI.[27] Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatra Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Kemudian yang menjadi wilayah Provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Keresidenan Riau serta ditambah Kampar. Riau sempat menjadi salah satu daerah yang terpengaruh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada akhir 1950-an. Pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas dibawah pimpinan Kaharuddin Nasution, yang kelak menjadi gubernur provinsi ini, dan berhasil menumpas sisa-sisa simpatisan PRRI.[28] Setelah situasi keamanan berangsur pulih, pemerintah pusat mulai mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, yang secara geografis terletak di tengah-tengah. Pemerintah akhirnya menetapkan Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi yang baru pada 20 Januari 1959 lewat Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25.[29] Masa Orde Baru[sunting | sunting sumber] Setelah jatuhnya Orde Lama, Riau menjadi salah satu tonggak pembangunan ekonomi Orde Baru yang kembali menggeliat.[30] Pada tahun 1944, ahli geologi NPPM, Richard H. Hopper dan Toru Oki bersama timnya menemukan sumur minyak terbesar di Asia Tenggara yaitu di Minas, Siak. Sumur ini awalnya bernama Minas No. 1. Minas terkenal dengan jenis minyak Sumatra Light Crude (SLC) yang baik dan memiliki kadar belerang rendah.[31] Pada masa awal 1950-an, sumur-sumur minyak baru ditemukan di Minas, Duri, Bengkalis, Pantaicermin, dan Petapahan. Eksploitasi minyak bumi di Riau dimulai di Blok Siak pada September 1963, dengan ditandatanganinya kontrak karya dengan PT California Texas Indonesia (kini menjadi Chevron Pacific Indonesia).[32] Provinsi ini sempat diandalkan sebagai penyumbang 70 persen dari produksi minyak nasional pada tahun 1970-an.[33] Riau juga menjadi tujuan utama program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Soeharto. Banyak keluarga dari Pulau Jawa yang pindah ke perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka di Riau, sehingga membentuk suatu komunitas tersendiri yang kini berjumlah cukup signifikan.[34] Era reformasi[sunting | sunting sumber] Pada tahun 1999, Saleh Djasit terpilih menjadi putra daerah asli Riau kedua (selain Arifin Achmad) dan pertama dipilih oleh DPRD Provinsi sebagai gubernur. Pada tahun 2003, mantan Bupati Indragiri Hilir, Rusli Zainal, terpilih menjadi gubernur, dan terpilih kembali lewat pemilihan langsung oleh rakyat pada tahun 2008. Mulai tanggal 19 Februari 2014, Provinsi Riau secara resmi dipimpin oleh gubernur, Annas Maamun. Baru memimpin 7 Bulan, Annas Maamun dilengserkan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menangkap Tangan Annas Maamun dalam kasus Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Kuansing. Saat ini provinsi Riau dipimpin oleh Arsyadjuliandi Rachman (Andi Rachman). Setelah kejatuhan Orde Baru, Riau menjadi salah satu sasaran provinsi yang akan dimekarkan. Pada tahun 2002, pemerintah menetapkan pemekaran Kepulauan Riau yang beribu kota di Tanjung Pinang, dari provinsi Riau.[35] Kondisi dan sumber daya alam[sunting | sunting sumber] Geografi[sunting | sunting sumber] Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka.[4] Riau memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari. Sumber daya alam[sunting | sunting sumber] Provinsi ini memiliki sumber daya alam, baik kekayaan yang terkandung di perut bumi, berupa minyak bumi dan gas, serta emas, maupun hasil hutan dan perkebunannya. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap mulai diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan tegas mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber daya, dan bagi hasil dengan lingkungan sekitar. Politik dan pemerintahan[sunting | sunting sumber] Kepala daerah[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Daftar gubernur Riau dan Daftar Wakil Gubernur Riau Kantor Gubernur Riau Sejak berdirinya Provinsi Riau pada tahun 1958, provinsi ini telah dipimpin oleh tiga belas orang gubernur dan tujuh orang pejabat atau pelaksana tugas gubernur. Gubernur Riau petahana adalah Syamsuar, yang dilantik pada 20 Februari 2019 oleh Presiden Joko Widodo setelah memenangkan pemilihan gubernur tahun 2018.[36] Dalam menjalankan tugasnya, Gubernur Riau dibantu oleh seorang Wakil Gubernur. Wakil Gubernur petahana adalah Edy Nasution, yang dilantik pada 20 Februari 2019 bersama Gubernur Syamsuar.[36] Kemudian, pada 27 November 2023, presiden Joko Widodo melantik Edy Nasution sebagai gubernur Riau, karena Syamsuar selaku gubernur Riau mengundurkan diri, ia mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu 2024.[37] Selanjutnya, S. F. Hariyanto dilantik menjadi penjabat gubernur Riau pada 29 Februari 2024. Pada tanggal 15 Agustus 2024, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian resmi melantik Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi sebagai Pj Gubernur Riau menggantikan S. F. Hariyanto yang akan maju sebagai kandidat calon kepala daerah tahun 2024. No. Potret Gubernur Mulai menjabat Akhir menjabat Wakil Gubernur Referensi 13 Rahman Hadi 15 Agustus 2024 Petahana Lowong [37] DPRD Provinsi[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau Gedung DPRD Provinsi Riau Jalan Jend. Sudirman, Pekanbaru DPRD Riau beranggotakan 65 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRD Riau terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik dengan jumlah kursi terbanyak. Anggota DPRD Riau yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2019 yang dilantik pada 6 September 2019 oleh Ketua Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru di Gedung DPRD Provinsi Riau.[38][39] Komposisi DPRD Riau periode 2019-2024 terdiri dari 10 partai politik dimana Partai Golkar menjadi peraih kursi terbanyak yaitu 11 kursi disusul oleh PDI Perjuangan yang meraih 10 kursi, Partai Demokrat yang meraih 9 kursi, dan Partai Gerindra yang meraih 8 kursi.Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Riau sejak periode 2009-2014 hingga sekarang.[40][41][42] Partai Politik Jumlah Kursi dalam Periode 2009-2014 2014-2019 2019-2024 2024-2029 PDI-P 7 9 10 11 PKS 5 3 7 10 Golkar 15 14 11 10 Gerindra 1 7 8 8 Demokrat 8 9 9 8 PKB 3 6 6 6 NasDem (baru) 3 2 6 PAN 6 7 7 5 PPP 6 5 4 1 Hanura 0 2 1 0 PBB 1 0 0 0 PBR 2 PPRN 1 Jumlah Anggota 55 65 65 65 Jumlah Partai 11 10 10 9 Pembagian administratif[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Daftar kabupaten dan kota di Riau Pekanbaru Siak Dumai Kep.Meranti Bengkalis RokanHilir RokanHulu Kampar Pelalawan KuantanSingingi IndragiriHulu IndragiriHilir No. Kabupaten/kota Ibu kota Bupati/wali kota Luas wilayah (km2)[43] Jumlah penduduk (2022)[44] Kecamatan Kelurahan/desa Lambang Peta lokasi 1 Kabupaten Bengkalis Bengkalis Kasmarni 8.616,36 634.553 11 19/136 2 Kabupaten Indragiri Hilir Tembilahan Erisman Yahya (Pj.) 13.521,26 676.983 20 39/197 3 Kabupaten Indragiri Hulu Rengat Rezita Meylani Yopi 7.871,85 455.669 14 16/178 4 Kabupaten Kampar Bangkinang Hambali (Pj.) 10.352,80 832.975 21 8/242 5 Kabupaten Kepulauan Meranti Selatpanjang Asmar (Plt.) 3.623,56 210.843 9 5/96 6 Kabupaten Kuantan Singingi Koto Taluk Suhardiman Amby 5.457,86 341.708 15 11/218 7 Kabupaten Pelalawan Pangkalan Kerinci Zukri 13.262,11 402.303 12 14/104 8 Kabupaten Rokan Hilir Bagansiapiapi Afrizal Sintong 9.068,46 649.692 15 25/159 9 Kabupaten Rokan Hulu Pasir Pengaraian Sukiman 7.658,15 561.313 16 6/139 10 Kabupaten Siak Siak Alfedri 7.805,54 463.660 14 9/122 11 Kota Dumai - Paisal 2.059,61 331.445 7 36/- 12 Kota Pekanbaru - Risnandar Mahiwa (Pj.) 638,33 1.085.246 15 83/- Demografi[sunting | sunting sumber] Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2022, sebanyak 6.493.603 jiwa.[4] Kabupaten atau kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk ± 994 ribu jiwa. Sedangkan kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 210.407 jiwa.[3] Suku bangsa[sunting | sunting sumber] Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 menunjukkan bahwa Melayu adalah masyarakat terbesar dengan komposisi 33,35% dari seluruh penduduk Riau. Mereka umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, hingga ke daerah daratan di Pelalawan, Siak, Pekanbaru, dan Indragiri Hulu. Suku bangsa lainnya yaitu Jawa (29,20%), Batak (12,55%), Minangkabau (12,29%), Banjar (4,13%), Bugis (1,95%), Tionghoa (1,85%), Sunda (1,44%), Nias (1,30%), dan lainnya 1,94%.[45] Ada juga masyarakat asli Melayu Riau rumpun Minang seperti masyarakat Melayu Petalangan di sebagian Pelalawan, juga yang berasal dari Rokan Hulu, terutama Kampar, dan Kuantan Singingi memiliki kekerabatan dekat dengan Minangkabau karena wilayah-wilayah tersebut berdekatan bahkan berbatasan langsung dengan Sumatera Barat. Juga terdapat masyarakat Batak Mandailing di Rokan Hulu, yang kerap lebih mengaku sebagai Mandaling dan Melayu daripada sebagai Batak ataupun Minangkabau.[46] Rumah Melayu Bangkinang di Pekanbaru Rumah Melayu Pelalawan di Pekanbaru Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut ini komposisi etnis atau suku bangsa di provinsi Riau, yakni;[45] Suku bangsa di provinsi Riau tahun 2010 No Suku Jumlah 2010 % 1 Melayu 1.836.812 33,35% 2 Jawa 1.608.552 29,20% 3 Batak 691.399 12,55% 4 Minangkabau 676.948 12,29% 5 Banjar 227.239 4,13% 6 Bugis 107.159 1,95% 7 Tionghoa 101.864 1,85% 8 Sunda 79.289 1,44% 9 Nias 71.537 1,30% 10 Asal Riau 53.691 0,97% 11 Suku lainnya 53.352 0,97% Provinsi Riau 5.507.842 100% Dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010, suku asal Riau lainnya sudah termasuk 6 kelompok suku terasing seperti: Suku Hutan, Bonai, Talang mamak, Sakai, suku Akit, dan Orang Laut dari provinsi Riau. Sedangkan suku lain sisanya termasuk Aceh, Madura, Makassar, dan lain-lain.[45] Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau. Mereka banyak bermukim di Indragiri Hilir khususnya Tembilahan.[47] Dibukanya perusahaan pertambangan minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari daerah-daerah di Indonesia untuk mengadu nasib di Riau. Bahasa[sunting | sunting sumber] Riau merupakan provinsi dengan latar belakang penduduk yang majemuk, sehingga terdapat banyak bahasa yang dituturkan sehari-hari. Menurut sensus 2010, 40,05% penduduk Riau berusia 5 tahun ke atas berbicara menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan 58,68% menggunakan bahasa daerah. 1,27% sisanya menggunakan bahasa asing, tidak terdata/tidak didata (tidak diketahui), tidak ditanyakan, atau tidak menjawab.[48] Bahasa-bahasa daerah yang dominan dituturkan di Riau, antara lain Melayu, Jawa, Minangkabau, Batak, dan Banjar.[49] Bahasa Melayu, yang dikenal sebagai bahasa Melayu Riau beserta dialeknya, merupakan bahasa yang dipertuturkan secara luas oleh etnis Melayu yang merupakan penduduk asli Riau khususnya di daerah pesisir, seperti Rokan Hilir, Bengkalis, Dumai, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, hingga ke daerah daratan, seperti Pelalawan, Pekanbaru, Siak, Indragiri Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan Hulu.[50] Bahasa Minangkabau dipergunakan secara luas/dominan menjadi bahasa perniagaan di perkotaan (Pekanbaru) dan di sebagian wilayah bagian barat Riau yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Selain menjadi bahasa yang digunakan masyarakat etnis Minangkabau dan digunakan di pasar-pasar/tempat perniagaan, dialek/bahasa Minangkabau juga bahkan dominan dan menjadi bahasa sehari-hari, bahasa pengantar/komunikasi (lingua franca), dan bahasa pergaulan masyarakat kota Pekanbaru. Di Pekanbaru sendiri mayoritas etnis Minang, etnis Minang merupakan etnis terbesar di Pekanbaru. Hal ini dikarenakan banyak orang Minang yang merantau lalu berniaga, bekerja, dan sekolah/kuliah di Riau hingga menetap dan menjadi warga Riau (khususnya Pekanbaru yang merupakan ibu kota provinsi Riau), ini juga menyebabkan logat khas Minang dengan ciri khas penambahan partikel "do" diakhir kalimat dan beberapa kosakata/partikel seperti "mah", "wak", dan lainnya banyak dipakai masyarakat kota Pekanbaru oleh non-Minang seperti pendatang lainnya ataupun masyarakat asli Melayu Riau itu sendiri. Bahasa Melayu lokal di daerah sekitar Pekanbaru yang dituturkan oleh masyarakat Melayu Riau memang terdengar banyak kemiripan dan ada beberapa persamaan dengan dialek bahasa Minangkabau terutama dari logatnya. Bahasa Melayu lokal disana juga memiliki ciri kata diakhiri "o" seperti Minang juga dengan beberapa kosakata yang sama dan banyak kemiripan terutama dari logat bahasa. Selain dituturkan di Pekanbaru, bahasa ini juga dituturkan oleh masyarakat asli Minang yang berada di sebagian wilayah yang berbatasan dengan Sumatera Barat di Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi. Ketiga daerah tersebut mempunyai banyak kemiripan dan persamaan dari adat-istiadat, budaya/kebudayaan, dan bahasa dengan daerah tetangganya di Sumatera Barat, serta mempunyai ciri dialek tersendiri yang agak berbeda dengan masyarakat Melayu Riau lainnya. Pada umumnya, penutur asli tersebut tidak menyebutkan bahasanya sebagai bahasa Minang, tetapi sebagai bahasa tersendiri atau sebagai dialek Melayu.[51][52] Dialek-dialek rumpun Minang yang tersebar di Riau antara lain, dialek Melayu Kampar,[53][54] dialek Melayu Kuantan, dan dialek Melayu Rokan.[50][55][56] Dialek-dialek dari bahasa Batak, juga dipertuturkan di provinsi Riau. Khususnya Batak Toba dituturkan oleh masyarakat Batak Toba yang tinggal disekitar perkotaan (Pekanbaru & Dumai) serta daerah-daerah Riau lainnya di beberapa kabupaten.[49], Batak Angkola, dialek Mandailing yang dituturkan oleh masyarakat Batak Angkola dan Batak Mandailing di wilayah kabupaten Rokan Hulu yang berbatasan dengan Sumatera Utara.[49] Bahasa Banjar di Riau banyak dituturkan orang Banjar di Kabupaten Indragiri Hilir. Ada 4 dialek yang tersebar, yaitu dialek Pekan Kamis, dialek Simpang Gaung, dialek Sungai Raya-Sungai Piring, dan dialek Teluk Jira. Menurut perhitungan dialektrometri, dialek-dialek Banjar yang ada di Riau memiliki perbedaan cukup signifikan dari daerah asalnya di Kalimantan Selatan. Bahasa Banjar di Riau sudah tercampur dan terpengaruh beberapa bahasa salah satunya yang dominan ialah bahasa Melayu. Banyak kosakata yang diserap dari bahasa Melayu Riau (baik Indragiri Hilir dan sekitarnya maupun dialek Melayu Riau di wilayah lain), sisanya terdapat pula sebagian serapan dari bahasa Jawa dan Bugis. Selain itu dialek Hokkien juga masih banyak digunakan di kalangan masyarakat Tionghoa, terutama yang bermukim di Pekanbaru, Dumai, Selatpanjang, Bengkalis, dan Bagansiapiapi[butuh rujukan]. Dalam skala yang cukup besar juga didapati penutur bahasa Jawa yang digunakan oleh keturunan para pendatang asal Jawa yang telah bermukim di Riau sejak masa penjajahan dahulu, serta oleh para transmigran dari pulau Jawa pada masa setelah kemerdekaan. Agama[sunting | sunting sumber] Masjid Raya Sultan Penyengat Ritual Bakar Tongkang di Bagansiapiapi. Dilihat dari komposisi, penduduk provinsi Riau meiliki latar belakang sosial budaya, bahasa, dan agama yang berbeda. Agama-agama yang dianut penduduk provinsi ini sangat beragam, di antaranya Islam, Kristen Protestan, Buddha, Kristen Katolik, Konghucu, dan Hindu.[57] Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri pertengahan tahun 2024, mayoritas warga Riau menganut agama Islam. Penganut agama Islam sebanyak 87,04% yang umumnya dianut orang Melayu, Jawa, Minangkabau, Banjar, Bugis, Sunda, dan sebagian Batak, umumnya Mandailing dan sebagian Angkola. Kemudian, Kekristenan dianut oleh 10,95% dengan rincian Protestanisme sebanyak 9,85% dan Katolik Roma sebanyak 1,10% yang kebanyakan berasal dari etnis Batak (Khususnya Toba, Simalungun, serta Pakpak), Nias, Karo, dan sebagian dianut etnis Jawa, Tionghoa, serta penduduk dari Indonesia Timur (suku asal NTT, Minahasa, dan Ambon). Penganut Buddhisme sebanyak 1,96% dan Konfusianisme/Konghucu sebanyak 0,03% yang berasal dari etnis Tionghoa serta sebagian Jawa dan suku lainnya juga menganut Buddha. Sekitar 0,01% menganut Hindu yang dianut oleh masyarakat suku Bali serta sebagian masyarakat keturunan India-Indonesia (Hindi & Tamil), dan agama tradisional sebanyak 0,01%.[3] Berbagai sarana dan prasarana peribadatan bagi masyarakat Riau sudah terdapat di provinsi ini, seperti masjid & musala (Islam), gereja Protestan dan gereja Katolik (Kristen), vihara/wihara Buddha, serta kuil atau pura Hindu. Jumlah rumah ibadah ibadah di Riau hingga tahun 2021, yakni masjid sebanyak 6.318 bangunan, kemudian musala sebanyak 6.544 bangunan, gereja Protestan sebanyak 1.895 bangunan, gereja Katolik sebanyak 244 bangunan, vihara/wihara sebanyak 94 bangunan, beberapa kelenteng, dan pura atau kuil sebanyak 8 bangunan.[4] Pendidikan[sunting | sunting sumber] Riau mempunyai beberapa perguruan tinggi, di antaranya: Gedung Rektorat UIN SUSKA Provinsi Riau Universitas Riau Universitas Islam Riau Universitas Muhammadiyah Riau Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Universitas Lancang Kuning Universitas Abdurrab Universitas Pasir Pengaraian Universitas Islam Indragiri Universitas Islam Kuantan Singingi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tuanku Tambusai Politeknik Negeri Bengkalis Politeknik Kampar Politeknik Caltex Riau Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tafaqquh Fiddin Dumai Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Lancang Kuning Dumai STMIK AMIK & STT Dumai Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ar-Ridho Bagan Siapi-Api, Rokan Hilir Kesehatan[sunting | sunting sumber] Daftar rumah sakit di Provinsi Riau sebagai berikut: RSUD Arifin Achmad RSUD Petala Bumi RS Santa Maria RS Syafira RS Awal Bros RS Eka Hospital RS Lancang Kuning RS Islam Ibnu Sina RS dr.Tabrani Rab RSIA Andini RSIA Eria Bunda RST Korem 031/WB RS Polisi Bhayangkara Perekonomian[sunting | sunting sumber] Pertanian & perkebunan[sunting | sunting sumber] Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara ataupun oleh rakyat. Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk dan kelapa. Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini provinsi Riau telah memiliki lahan seluas 1.34 juta hektare. Selain itu telah terdapat sekitar 116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi coconut palm oil (CPO) 3.386.800 ton per tahun. Hutan & ikan[sunting | sunting sumber] Deforestasi di Indragiri Hulu Pembangunan kehutanan pada hakikatnya mencakup semua upaya memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi utamanya sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang, fungsi lindung, dan estetika sebagai dampak kebijakan pemerintah yang lalu. Hilangnya ketiga fungsi diatas mengakibatkan semakin luasnya lahan kritis yang diakibatkan oleh pengusahaan hutan yang mengabaikan aspek kelestarian. Efek selanjutnya adalah semakin menurunnya produksi kayu hutan non HPH, sementara upaya reboisasi dan penghijauan belum optimal dilaksanakan. Masalah lain yang sangat merugikan tidak saja provinsi Riau pada khususnya tetapi Indonesia pada umumnya, adalah masalah ilegal logging yang menyebabkan berkurangnya kawasan hutan serta masalah pengerukan pasir secara liar. Industri[sunting | sunting sumber] Pabrik Kertas PT. Riau Andalan Pulp and Paper Kabupaten Pelalawan Pada provinsi ini terdapat beberapa perusahaan berskala internasional yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas serta pengolahan hasil hutan dan sawit. Selain itu terdapat juga industri pengolahan kopra dan karet. Beberapa perusahaan besar tersebut di antaranya Chevron Pacific Indonesia anak perusahaan Chevron Corporation, PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk di Perawang, dan PT. Riau Andalan Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci Komunikasi[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Daftar stasiun televisi di Riau Pertambangan[sunting | sunting sumber] Kilang Minyak Bumi terbesar se Riau dan Indonesia milik Pertamina RU II Dumai Hasil pertambangan provinsi Riau adalah Minyak bumi, Gas, dan Batu Bara. Transportasi[sunting | sunting sumber] Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II. Provinsi Riau merupakan satu-satunya provinsi yang mempunyai BUMD di bidang transportasi udara yakni PT. Riau Air, yang bertujuan untuk melayani daerah-daerah yang sulit dijangkau melalui jalan darat maupun laut. Riau Air mengoperasikan Fokker-50 buatan Belanda sebanyak lima armada, dan tahun 2008 perusahaan ini menambah dua armada lagi dengan jenis Avro-RJ 100. Provinsi Riau memiliki Jalan Tol yang menghubungkan Kota Pekanbaru dan Kota Dumai yang bernama Jalan Tol Pekanbaru-Dumai (Jalan Tol Permai) memiliki panjang 131,5 KM dan melewati 3 Kabupaten yaitu Siak, Kampar, dan Bengkalis serta di Tol ini memiliki Jembatan Khusus untuk Gajah karena saat pembangunan melewati Balai Latihan Gajah tepatnya di kecamatan Minas. Riau memiliki Jalan Tol yang menghubungkan antara Kota Pekanbaru dan Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar bagian dari Ruas Jalan Tol Padang–Pekanbaru sepanjang 30,9 Km.[58] Riau bersama PT Hutama Karya sedang menggesa progres proyek pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra yaitu Jalan Tol Padang–Pekanbaru, Jalan Tol Rengat–Pekanbaru, Jalan Tol Duri-Rantau Prapat, dan Jalan Tol Dharmasraya-Kuansing-Inhu. Sehingga dengan keberadaan jalan tol tersebut akan bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau akan lebih baik. Gerbang Tol Bangkinang Ruas Jalan Tol Padang–Pekanbaru Pulau Jemur Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau memiliki 3 bandara aktif seperti Bandara Sultan Syarif Kasim II di kota Pekanbaru, Bandara Pinang Kampai di kota Dumai, dan Bandara Japura di Rengat, Indragiri Hulu yang menghubungkan antar satu daerah ke daerah lain seperti Banda AcehMedan,Padang Jakarta,Bandung,Yogyakarta,Semarang,Surabaya dan bukan rute domsetik aja bahkan hingga ke internasional seperti Malaysia,Singapura,Thailand, dll. Riau juga memiiki pelabuhan penumpang yang berada di Bengkalis,Dumai,Pekanbaru,Selatpanjang yang melayani rute AKAP dan bahkan Internasional yaitu Malaysia. Keuangan & perbankan[sunting | sunting sumber] Untuk bidang perbankan di provinsi sangat berkembang pesat, ini ditandai banyaknya bank swasta dan BPR, selain bank milik pemerintah daerah seperti Bank Riau Kepri. Pariwisata[sunting | sunting sumber] Wisata alam[
Data diambil dari WikiPedia.
Peta Provinsi RIAU
Kode Pos Surabaya - Kode Pos Jember - Kode Pos Jakarta - Kode Pos Bandung - Kode Pos Yogyakarta - Kode Pos Semarang - Kode Pos Aceh - Kode Pos Mataram - Kode Pos Denpasar - Kode Pos Pasuruan - Kode Pos Lumajang - Kode Pos Ambon - Kode Pos Minahasa Selatan - Kode Pos Banyuwangi - Kode Pos Bali - Kode Pos Banjarmasin - Kode Pos Pangkal Pinang - Kode Pos Maluku - Kode Pos Medan - Kode Pos Bekasi - Kode Pos Manokwari - Kode Pos Manado - Kode Pos PALANGKA RAYA - Kode Pos Jambi - Kode Pos Pekan Baru - Kode Pos Gorontalo - Kode Pos Bogor - Kode Pos Sukoreno - Kode Pos Situbondo