Kode Pos Seluruh Indonesia Tahun 2024
Provinsi, Kota/Kabupaten, Kecamatan/Distrik, Kelurahan/Desa
Saat ini kami memiliki 81248 data kode pos dari seluruh indonesia, terdiri dari 38 Provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.506 kelurahan, dan 74.961 desa
Daftar Kode Pos Provinsi JAMBI
No | Provinsi | Kabupaten | Kecamatan | Kelurahan/Desa | Kode Pos |
---|---|---|---|---|---|
1 | JAMBI | JAMBI | PASAR JAMBI | ORANG KAYO HITAM | 36111 |
2 | JAMBI | JAMBI | PASAR JAMBI | BERINGIN | 36112 |
3 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | LEGOK | 36121 |
4 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | MURNI | 36121 |
5 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | SOLOK SIPIN | 36121 |
6 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | SUNGAI PUTRI | 36122 |
7 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | TELANAIPURA | 36122 |
8 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | BULURAN KENALI | 36123 |
9 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | TELUK KENALI | 36123 |
10 | JAMBI | JAMBI | TELANAIPURA | PENYENGAT RENDAH | 36124 |
Sekilas mengenai Provinsi JAMBI
Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab. Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat Melayu pada masa itu sebagai ”Jambi”, ditulis dengan aksara Arab:, yang secara harfiah berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’ atau ’sahabat akrab’.[butuh rujukan] Kata Jambi ini sebelum ditemukan oleh Orang Kayo Hitam atau sebelum disebut Tanah Pilih, bernama Kampung Jam, yang berdekatan dengan Kampung Teladan, yang diperkirakan di sekitar daerah Buluran Kenali sekarang. Dari kata Jam inilah akhirnya disebut “Jambi”. Menurut teks Hikayat Negeri Jambi, kata Jambi berasal dari perintah seorang raja yang bernama Tun Telanai, untuk untuk menggali kanal dari ibu kota kerajaan hingga ke laut, dan tugas ini harus diselesaikan dalam tempo satu jam. Kata jam inilah yang kemudian menjadi asal kata Jambi. Zaman kerajaan[sunting | sunting sumber] Peta Hindia Belanda yang menunjukkan Pantai Barat Sumatera, Kepulauan Kelapa, Madura, Bintang, Indragiri, dan Sungai Jambi. Provinsi Jambi secara geografis berada di pesisir timur persis di tengah Pulau Sumatra, ibu kotanya berada di kota Jambi. Provinsi Jambi adalah nama provinsi di Indonesia yang ibu kotanya memiliki nama sama dengan provinsi, selain Bengkulu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Gorontalo. Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Kerajaan Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kerajaan Kandali/ Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajaan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah. Dalam sejarah kerajaan di Nusantara wilayah Minanga Kamwa (nama Minang Kabau Kuno 1 M) adalah tanah asal pendiri Kerajaan Melayu dan Sriwijaya dari wilayah Minanga Kamwa inilah banyak lahir raja-raja di Nusantara, baik sekarang yg berada di Malaysia, Brunei dan Indonesia di negeri Jambi ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dahulu. Kerajaan Hindu Buddha[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Kerajaan Sriwijaya Perkembangan agama Hindu dan Buddha adalah sejarah penting bagi perkembangan Jambi pra-Islam. Pada masa ini, Jambi pernah menjadi salah satu wilayah penting bagi penyebaran agama dunia, khususnya di Asia. Kesimpulan tentang pentingnya posisi Jambi pada masa Hindu-Buddha tersebut terutama didasarkan pada penelitian- penelitian sejarah dan arkeologi di kawasan Candi Muaro Jambi yang bercorak Hindu-Buddha. Berdasarkan temuan-temuan di sekitar kawasan, candi ini diyakini sebagian besar dibangun mulai abad ke- 8-9 secara bertahap. Namun sejarawan Jambi, Fachruddin Saudagar, bahkan meyakini pembangunan candi telah dirintis sejak abad ke-4 di daerah yang merupakan daerah garis pantai purba berbentuk teluk bernama Teluk Wen yang menjorok hingga ke daerah Muara Tebo dan Sarolangun. Keberadaan candi ini menguatkan pendapat bahwa Melayu (Jambi) merupakan kerajaan Hindu tertua di Sumatra yang telah berdiri tahun 644 M.[9](hlm.67) Waktu penyebaran agama Hindu dan Buddha di Jambi tidak bisa ditetapkan secara pasti. Prediksi yang memungkinkan disusun berdasarkan perkembangan Candi Muaro Jambi yang pada awalnya diperkirakan berfungsi sebagai tempat pendidikan agama Buddha di Nusantara. Dalam perjalanannya mempelajari agama Buddha, I'tsing (Yi Jing) sempat berkunjung dua kali di tanah Mo-lo-yeu untuk memperdalam pengetahuan tentang Buddha yaitu tahun 671 dan antara 689-695. Pentingnya negeri yang juga disebutnya Foshi ini sebagai tempat belajar agama Buddha, mendorong I'tsing menyarankan para agamawan Buddha untuk belajar dahulu 1-2 tahun di sini sebelum berangkat ke India. Selain itu, umumnya peneliti meyakini bahwa Candi Muaro Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Melayu tua dan Sriwijaya hingga abad ke-12 dengan raja terakhirnya Tun Telanai (1080-1168 M).[a][9](hlm.67-68) Catatan I'tsing tersebut sekaligus menegaskan bahwa saat kedatangannya ke tanah Mo-lo-yeu, ajaran Buddha telah berkembang pesat di sana. Bukti penyebaran agama Hindu dan Buddha di sekitar Palembang dan Jambi juga didasarkan pada isi prasasti-prasasti zaman Sriwijaya yang menerangkan prosesi- prosesi dan sistem keyakinan yang mencerminkan nilai-nilai dan tradisi Hindu-Buddha. Setidaknya ada enam prasasti penting yaitu prasasti Talang Tuo yang ditemukan di sebelah Barat Bukit Siguntang bertahun 684 M, prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di sebelah Selatan Bukit Siguntang bertahun 682 M, prasasti Sabokingking, prasasti Kota Kapur di daerah Bangka bertahun 686 M, prasasti Karang Berahi di daerah Merangin, Jambi, dan prasasti Palas Pasemah di daerah Lampung. Mempertimbangkan catatan I'tsing dan penanggalan prasasti ini maka bisa dipahami bahwa ajaran Hindu dan Buddha telah tersebar di Palembang dan Jambi sejak awal abad ke-7 atau lebih awal lagi.[9](hlm.68-69) Penetapan lokasi dan status Mo-lo-yeu dan Sriwijaya, atau nama lainnya, serta dinamika hubungan antara keduanya tetap menjadi lahan analisis yang terbuka hingga saat ini, meskipun sudah seabad sejak para ilmuwan mulai melakukan kajian-kajian intensif terkait. Pendapat yang lebih umum adalah Mo-lo-yeu berlokasi di Jambi, sedangkan Sriwijaya awalnya berpusat di Palembang. Catatan I'tsing dan rekam peristiwa beberapa dinasti Cina adalah sumber utama yang menjelaskan keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut sejak abad ke-7 M. Terlepas dari perdebatan tersebut, baik Mo-lo-yeu maupun Sriwijaya, merupakan kerajaan bertetangga di bawah pengaruh Buddha, bahkan sempat menjadi salah satu pusat pendidikan agama Buddha pada masanya.[9](hlm.69) Sepanjang abad ke-7 M hingga abad ke-14 M, Sriwijaya, termasuk Jambi di dalamnya, menjadi kerajaan besar yang berpengaruh di jalur perdagangan Selat Malaka. Kerajaan-kerajaan Sumatra cenderung bertumbuh di daerah pesisir Timur karena pertimbangan penguasaan jalur perdagangan yang memanfaatkan sungai-sungai besar bermuara ke Selat Malaka. Ibu kota kerajaan berperan sebagai "penjaga gawang" arus perdagangan di muara sungai (dalam istilah Melayu disebut kuala) yang umumnya menjadi kota pelabuhan dagang. Namun, ibu kota kerajaan tidak selalu berada di tepi pantai sehingga sering kali tugas pengontrolan pelabuhan dagang dilakukan oleh syahbandar, dan patroli laut didukung oleh Orang Laut yang loyal kepada kerajaan. Sementara di pantai Barat, jalur perdagangan cenderung membentuk garis sisir, yang memungkinkan komunitas lokal membangun pelabuhan dagang di mana saja. Karena itu pula, belasan pelabuhan dagang yang berdiri di sepanjang pantai Barat, cenderung memiliki independensi dan kesetaraan.[9](hlm.71-72) Meskipun struktur politik Mo-lo-yeu diperkirakan muncul sejak abad ke-7 M, tidak berarti sebelumnya belum ada struktur politik di wilayah yang sekarang disebut Jambi. Sumber lain bahkan mencatat bahwa kerajaan Melayu (Moloyou) di Jambi terentang dari masa abad ke-3 M dengan nama Koying, abad ke-4 dengan nama The Hu Pho (Tebo) dan abad ke-5 M dengan nama Kuntala (Kuala Tungkal) dan kemudian memanjang sampai abad ke-13 M dengan nama Melayu yang kemudian runtuh lalu muncul kerajaan baru bercorak Islam di abad ke-16 M. Sejarah Melayu Tua berakhir di tanah Jambi dikaitkan dengan kisah terbunuhnya Tun Telanai sebagai penguasa terakhirnya. Naskah Hikayat Negeri Jambi menceritakan bahwa Tun Telanai terbunuh dalam perang melawan anaknya yang dibuang ke laut saat masih bayi dan kemudian menjadi putra mahkota Kerajaan Siam. Keberadaan Tun Telanai sebagai raja terakhir Jambi periode pra-Islam juga ditulis dalam naskah ISKJ[b] pasal Silsilah Raja-raja Jambi.[9](hlm.72) Kesultanan Islam[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Kesultanan Jambi Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan Dinasti Tang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7 M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu Kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatra, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Adityawarman mendirikan Kerajaan Dharmasraya di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Chola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dahulu berdiri, tetapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran. Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu namanya adalah Dharmasraya. Hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1270–1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak Menjelang akhir abad ke-13, Wangsa Kartanegara Dari Kerajaan Singhasari, mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kertanagara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Tanah Jawi versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kertanagara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M. Pada tahun 1286 M, Kertanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kertanegara ini. Sebagai tanda terima kasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Adityawarman. Ketika utusan Kertanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singasari telah hancur akibat serangan dari Kubilai Khan dari Dinasti Yuan yang dibantu Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian menyerang balik pasukan Kubilai Khan dan mengklaim seluruh wilayah Kerajaan Singasari, dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Ketika Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara. Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Adityawarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatra, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatra, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru, yakni Suvarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Desa jambi tulo-jambi kecil, maro sebo, muaro jambi, Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Adityawarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14. Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau diperairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini. Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibu kota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.[butuh rujukan] Sejarah awal Kesultanan Melayu Islam Jambi bisa diprediksi kurang lebih bersamaan dengan penyebaran Islam secara masif di Sumatra, yaitu pada abad kelima belas.[10](hlm.43) Naskah ISKJ, pasal Undang Namanya Hukum Adat bagian kedua pasal 36 menyebutkan bahwa Jambi berkonversi menjadi Islam lebih awal yaitu pada tanggal 1 Muharam 700 H/23 September 1300 M pada zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduka Berhala. Sementara itu, buku Jambi dalam Sejarah 1500-1942 menyatakan bahwa Islam mulai berkembang di Jambi pada abad ke-14 M, bersamaan dengan dimulainya masa Kerajaan Jambi oleh Datuk Paduka Berhala. Merujuk pada dua referensi terakhir, penetapan waktu islamisasi Jambi menjadi kurang rasional jika dihadapkan pada perkiraan waktu pemerintahan Orang Kayo Hitam sebagai raja kedua Kesultanan Jambi yang ditulis pada 1500 M dalam referensi-referensi kontemporer. Penetapan waktu ini memberikan jarak hampir 200 tahun antara proses konversi orang Jambi menjadi Islam dengan dimulainya pemerintahan Orang Kayo Hitam. Penggambaran waktu ini juga tidak sesuai jika merujuk pada perkiraan tahun datangnya Datuk Paduka Berhala ke Jambi yang tertulis di makamnya yaitu tahun 1440 M dan meninggal pada tahun 1480 M.[9](hlm.72-73) Merujuk pada penjelasan dalam naskah tersebut, islamisasi Jambi baru terjadi sekitar abad ke-15-16 melalui jalur Turki. Namun, belum ada bukti arkeologis maupun kajian pendukung lainnya yang mendukung teori ini. Pada abad ke-17, beberapa orang Arab diketahui telah berdiam di Jambi, termasuk dari klan sayyid. Sayyid Husin bin Ahmad Baraghbah tercatat datang ke Jambi tahun 1626 M, dan menurut informasi lisan masyarakat di sekitar makamnya di Seberang, Sayyid Husin merupakan tetua marga Baraghbah di Indonesia. Namun, penyebaran Islam bisa jadi telah berlangsung jauh lebih awal bahkan sejak abad ke-7 M sebagaimana pendapat sebagian sejarawan tentang waktu mulainya penyebaran Islam di Sumatra. Pendapat ini dimungkinkan dari rute pelayaran dagang Arab ke Cina yang harus melewati perairan Nusantara sejak jalur darat yang digunakan sepanjang masa Dinasti Umayyah terputus akibat perang.[11](hlm.2-3) [12](hlm.257-258) [13](hlm.26-27) Berlabuh di pesisir Jambi dan Palembang adalah hal yang sangat mungkin dilakukan oleh pelaut muslim pada masa itu mengingat daerah itu merupakan pelabuhan dagang penting pada masa Sriwijaya.[9](hlm.73-74) Keberadaan negeri Melayu dan Sriwijaya juga telah muncul dalam catatan bangsa Arab dan Persia sejak pertengahan abad ke-9 dengan menyebut daerah Zabaj, Zabaq, atau Sribuja, meskipun beberapa ahli memperkirakan bahwa daerah yang dimaksud meliputi Sumatra bagian Selatan sampai ke Jawa.[14](hlm.52-121) [15](hlm.13-15) Korespondensi yang dilakukan oleh raja Sriwijaya pada khalifah Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz yang antara lain meminta dikirimnya ulama ke sriwijaya memperkuat argumen ini.[16](hlm.20-31) [17](hlm.4-7) Fakta-fakta tersebut menunjukkan kemungkinan penyebaran Islam di Jambi, bersama Palembang, telah dimulai pada abad ke-7 M, namun proses islamisasi dalam bentuk pembentukan kesatuan politik baru terjadi sekitar abad ke-14-15 M yang ditandai berdirinya cikal bakal Kesultanan Jambi bercorak Melayu-Islam.[9](hlm.74) Jika merujuk pada keterangan di atas, Kesultanan Jambi dapat dikatakan sebagai kesultanan Islam awal di Sumatra Tegah. Kerajaan Jambi telah menjadi Kerajaan Islam sejak masa pemerintahan Orang Kayo Hitam (1500 M), walaupun kemudian baru menggunakan istilah kesultanan, dan sultan sebagai penguasanya, pada masa pemerintahan Abdul Kahar bin Panembahan Kota Baru (1615-1643 M). Sementara itu, Kesultanan Palembang baru menjadi kesultanan Islam, sekaligus menjadi titik awal memisahkan diri dari Mataram, pada tahun 1659 M dengan sultan pertamanya Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abd al-Rahman Khalifah al-Mukminin Sayidul Imam.[18](hlm.1) Namun, kesimpulan yang hanya berdasar pada hikayat semacam ini tentu sangat lemah akurasinya. Masih butuh kajian lebih mendalam tantang hal ini.[9](hlm.74-75) Sumber-sumber tertulis yang ada memulai cerita lahirnya Kerajaan Jambi dengan merujuk pada tokoh Datuk Paduka Berhala (Ahmad Barus II), seorang pangeran dari Turki anak dari Zain al-'Abidin.[c] Sumber lokal yang mencatat sejarah dan silsilah raja-raja Jambi adalah naskah Hikayat Negeri Jambi dengan versi lainnya Hikaijat Toean Telani, serta naskah UUPJ[d] dan ISKJ[e] yang dirujuk hampir persis dalam buku Jambi dalam Sejarah 1500-1942 dengan menyertakan tahun berkuasa masing-masing raja. Adapun sumber Eropa, terdapat beberapa tulisan dalam laporan-laporan pejabat Belanda maupun laporan-laporan ekspedisi yang menjelaskan silsilah raja-raja Jambi, di antaranya adalah "Stamboom van het Vorstenhuis (Keraton) van Djambi"[f] dan "Djambi Rapport Aug. '02 door Prof. dr. Snouck Hurgronje aan A. F. Folkersma"[g] Selain itu, tulisan Tideman dan Sigar, Barbara Watson Andaya, Elsbeth Locher-Scholten dan terakhir disertasi Annabel Teh Gallop adalah sumber paling penting tentang nama-nama sultan dan masa pemerintahannya.[9](hlm.75-76) Jadi secara de jure, wilayah Jambi dikuasai oleh Kerajaan Jambi yang cikal bakalnya didirikan oleh Datuk Paduka Berhala pada akhir abad ke-15 M. Kerajaan Jambi mulai bercorak Islam pada awal abad ke-17 M dengan raja pertama yang menggunakan gelar sultan adalah Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar. Para sultan bertakhta di Tanah Pilih, sekitar Masjid al-Falah Kota Jambi sekarang, dan memerintah daerah Jambi dengan derajat keterikatan yang lemah sebagaimana umum ditemukan pada kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Asia Tenggara lainnya. Daerah-daerah memiliki otonomi yang cukup besar terutama di daerah uluan[h] yang menjadi pusat produksi barang-barang perdagangan semacam hasil hutan, lada, dan penambangan emas.[9](hlm.6-7) Hubungan antara penguasa lokal dan kerajaan adalah hubungan redistribusi, di mana penguasa lokal menyuplai barang-barang yang diperoleh dari masyarakat kepada kerajaan dengan imbal balik peran serta dan bantuan dalam masalah-masalah yang dihadapi daerah seperti bencana alam, serangan orang luar, termasuk dalam penyelesaian konflik yang tidak bisa tuntas di daerah. Dengan kata lain, hubungan daerah dengan kesultanan sebagai pusat kekuasaan menggambarkan hubungan mutualisme yang jika semakin jauh wilayahnya maka semakin kendor ikatannya. Selain fakta geografis yang memisahkan wilayah ibu kota dengan pedalaman, kemampuan mengontrol daerah juga dipengaruhi oleh lemahnya struktur politik-pemerintahan kesultanan.[9](hlm.7-8) Zaman Hindia Belanda[sunting | sunting sumber] Pada saat Belanda masih menjajah wilayah Nusantara, Jambi masih dalam bentuk kesultanan. Kesultanan Jambi memasuki masa kejayaan ekonomi pada abad ke-17 M. Pada masa ini, Jambi terlibat dalam perdagangan internasional di jalur Selat Malaka dengan negara-negara kawasan, imperium Cina, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Kelompok-kelompok Arab mulai menetap di Jambi dan kemudian hari menjadi kelompok paling berpengaruh dalam kesultanan terutama setelah memasuki abad ke-19 M. Kesultanan Jambi juga mulai menjalin hubungan dengan bangsa Eropa melalui perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang masuk ke Jambi pada tahun 1615 M. Meski didasari motif utama kepentingan ekonomi, VOC juga terlibat dalam urusan politik kesultanan sejak masa-masa awal kedatangannya. Struktur politik-pemerintahan tradisional di Kesultanan Jambi yang telah berlangsung berabad-abad perlahan mengalami deviasi dengan kewenangan yang sebagian mulai beralih kepada Belanda melalui kontrak-kontrak yang dibuat sejak awal abad ke-17. VOC meninggalkan Jambi pada akhir abad ke-18 dan sejak itu Jambi tidak lagi memiliki hubungan resmi dengan Belanda.[9](hlm.9) Awal abad ke-19, Belanda kembali berusaha membangun hubungan dengan Jambi. Pada masa ini, Kesultanan Jambi berada dalam situasi krisis ekonomi dan krisis legitimasi yang memicu pergolakan internal. Sejak kemunduran ekonomi yang dimulai pada akhir abad k-17, perekonomian Kesultanan Jambi tidak pernah bangkit lagi. Krisis legitimasi yang disebabkan oleh persoalan moral memicu perang saudara pada tahun 1811 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muhyiddin. Meskipun sultan berhasil mempertahankan takhta dengan bantuan sepupunya, Raden Rangga, konflik internal kesultanan tetap berlangsung hingga dekade ketiga abad ke-19.[10](hlm.45-50) Dalam kondisi konflik internal yang berkepanjangan, upaya negosiasi dengan Belanda berlangsung pasang-surut. Kesultanan bahkan terlibat konflik terbuka dengan Belanda yang berakhir dengan ditandatanganinya kontrak tahun 1833 M. Melalui kontrak yang dibuat di Sungai Baung, sehingga disebut Piagam Sungai Baung, Kesultanan Jambi mengakui kedaulatan Belanda di Jambi. Sejak itu, Belanda kembali mengontrol perdagangan Jambi hingga masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Nasruddin (1841-1855 M). Perubahan situasi politik terjadi ketika Sultan Thaha Saifuddin [i] naik takhta menggantikan pamannya pada tahun 1855 M.[9](hlm.9-10) Sejak berada di bawah pemerintahan Sultan Thaha, Kesultanan Jambi memasuki periode penting perseteruan panjang dengan pemerintah kolonial Belanda. Setelah perjanjian damai tahun 1833 M dibatalkan oleh sultan, ketegangan antara kedua pihak terus meningkat. Puncaknya, Belanda menganeksasi Kesultanan Jambi pada tahun 1858 M lalu mengangkat sultan bayang[j] sebagai pengganti Sultan Thaha. Sementara itu, Sultan Thaha menyingkir ke ulu[k] dan membentuk pusat pemerintahan di daerah Muara Tebo dan menguasai daerah uluan. Meski pusat kesultanan di Tanah Pilih berhasil dikuasai, Belanda tetap memperhitungkan kekuatan Sultan Thaha yang memiliki legitimasi kuat di uluan bahkan memengaruhi tokoh-tokoh di lingkungan istana. Kedua pihak terlibat konflik dingin berkepanjangan sampai kemudian Belanda memulai ekspedisi militer pada awal abad ke-20. Sejumlah perlawanan sporadis terjadi di beberapa daerah uluan hingga pecah perang terbuka yang menyebabkan Sultan Thaha terbunuh pada tahun 1904 M. Setelah berhasil mematahkan perlawanan Sultan Thaha, Belanda secara resmi membubarkan kesultanan pada tahun yang sama lalu membentuk Keresidenan Jambi pada tahun 1906 M.[9](hlm.10-11) Perubahan besar terjadi dalam sistem pemerintahan setelah Belanda berhasil menguasai Jambi dan membubarkan kesultanan. Kolonialisme Belanda di Jambi abad ke-19 secara resmi dimulai melalui kontrak tahun 1833 M. Meski demikian, Belanda hanya menikmati otoritas dan pengaruh yang terbatas, bahkan cenderung tidak menguntungkan secara ekonomi.[9](hlm.329) Belanda baru benar-benar memberikan perubahan signifikan atas negeri Jambi setelah penaklukan tahun 1904 M. Setelah pemberlakuan pemerintahan keresidenan pada tahun 1906 M, Belanda melakukan serangkaian penataan model pemerintahan dan sistem hukum yang ada di kesultanan maupun di daerah. Perubahan paling menonjol adalah terjadinya peminggiran elite- elite tradisional serta pemberlakuan sistem administrasi dalam hukum adat. Sementara itu, persoalan-persoalan ekonomi dan keadilan juga muncul sebagai masalah yang terus mengganggu. Keadaan-keadaan ini menimbulkan polemik berkepanjangan yang sempat memicu beberapa gerakan pemberontakan, terutama peristiwa tahun 1916 M yang didalangi oleh Sarekat Abang berkedok Sarekat Islam. Setelah peristiwa ini, tidak pernah lagi ada perlawanan yang signifikan dilancarkan oleh rakyat Jambi kepada Belanda.[9](hlm.329) Pembubaran kesultanan dengan sendirinya berdampak terhadap koeksistensi Islam dan adat dalam sistem pemerintahan serta hukum di Jambi. Pembubaran kesultanan berarti bahwa Jambi bukan lagi sebuah negeri yang, setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, secara ideologi politik merupakan negeri yang menganut ideologi Islam. Undang-undang Jambi tahun 1866 M dihapuskan dan diganti dengan Undang-undang Residensi Jambi (UURJ) buatan Belanda. Upaya-upaya menjadikan Jambi sebagai bagian dari khilafah al-Islamiyah Turki Uthmany juga terhenti sebab negeri Jambi tidak lagi memiliki seorang sultan berdaulat. Meskipun Turki Uthmany masih tetap populer dan menjadi harapan sejumlah kelompok sampai dasawarsa kedua abad ke-20, pada kenyataannya tak ada sosok berwenang untuk mewakili kepentingan politik mereka. Sistem musyawarah dalam suksesi kepemimpinan terbatas juga dihapuskan. Perubahan juga terjadi pada institusi keagamaan, yaitu qadi dan jajarannya. Jika sebelumnya institusi ini bersifat independen dalam urusan keagamaan dan pemutusan perkara hukum yang terkait dengan hukum Islam, UURJ menjadikan institusi keagamaan sebagai bagian dari sistem peradilan umum dengan penerapan birokratisasi ketat. Meskipun seorang hakim Islam harus masuk dalam proses peradilan dalam semua jenjang, dan putusan peradilan harus mengacu pada hukum agama dan hukum adat selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan secara umum, hakim Islam tidak lagi memiliki independensi untuk memutus perkara. Pengakuan terhadap hukum adat-islami juga mengalami distorsi di mana sejumlah aturan yang dianggap bertentangan dengan tradisi Eropa dilarang, seperti hukuman mati dan praktik "pembuktian ilahi", seperti menyelam, memegang besi panas dan sejenisnya, yang banyak dipraktikkan dan diakui dalam UUJ sebelumnya.[9](hlm.329-330) Perkembangan sosial budaya di daerah Jambi sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak memuaskan. Pendidikan formal memang di selenggarakan oleh kekuasaan pemerintah Belanda, misalnya diselenggarakan pembukaan sekolah-sekolah, namun jumlahnya sangat terbatas. Sampai saat Proklamasi di kota Jambi hanya ada satu Hollandsch Inlandsche School. Sudah tentu di samping pendidikan formal yang diadakan oleh Belanda, maka oleh masyarakat diselenggarakan pula pendidikan ilmu pengetahuan agama di surau-surau dan madrasah-madrasah.[19](hlm.3) Zaman Penjajahan Jepang[sunting | sunting sumber] Pendudukan Jepang atas daerah Jambi dimulai dengan masuknya tentara Angkatan Darat Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Namora melalui daerah Palembang dan Padang. Setelah Palembang jatuh ke tangan tentara Jepang pada tanggal 14 Februari 1942, maka dari Palembang tentara Jepang menyerbu masuk Lubuk Linggau, yang jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 21 Februari 1942. Selanjutnya setelah Jepang menduduki Muara Rupit tanggal 23 Februari 1942, yang diikuti Sarolangun Rawas pada tanggal 24 Pebruari 1942, tentara Jepang menyerbu masuk daerah Jambi.[20][19](hlm.17) Dari daerah Palembang, serbuan tentara Jepang diarahkan ke daerah Sarolangun Jambi, dan dapat diduduki Jepang tanggal 25 Februari 1942. Sehari kemudian Bangko dan Rantau Panjang diduduki pula. Kemudian setelah melakukan pertempuran sehari- semalam, pada tanggal 28 Februari 1942, Muara Bungo dapat diduduki tentara Jepang. Sedangkan Muara Tebo, baru diduduki tentara Jepang tanggal 2 Maret 1942. Di Muara Tebo tentara Jepang dibagi atas dua bagian, satu bagian bertugas untuk menyerang pertahanan tentara Belanda di Pulau Musang, dan satu bagian lagi bertugas untuk menyerang kota Jambi. Dalam pertempuran di Pulau Musang, Kolonel Namora tewas, sedangkan tentara Jepang yang bertugas menyerang Jambi di bawah pimpinan Kapten Orita dapat menduduki kota Jambi tanggal 4 Maret 1942.[20][19](hlm.17) Adapun daerah Kerinci, dimasuki dan diduduki oleh tentara Jepang yang datang dari Padang. Padang diduduki Jepang pada tanggal 17 Maret 1942.[l][19](hlm.17-18) Setelah seluruh daerah Jambi dapat diduduki dan dikuasai oleh Jepang dalam waktu yang sangat singkat, maka pada tanggal 10 Maret 1942 disusunlah pemerintahan oleh bala tentara Jepang.[19](hlm.18) Pada dasarnya susunan pemerintahan Belanda di daerah Jambi, oleh Jepang masih tetap dipertahankan. Perubahan yang dilakukan Jepang ialah mengganti nama dan istilah pemerintahan Belanda dengan istilah atau nama Jepang. Keresidenan ditukar dengan Syu, sedangkan residen disebut Syucokan. Afdeling yang dikepalai oleh Kontrolir[m]) disebut Bunsyu dan dikepalai oleh Bunsyuco. Onderafdeling/Distrik yang dikepalai oleh Demang ditukar dengan nama Gun yang dikepalai oleh Gunco. Kemudian daerah Onderdistrik yang dikepalai oleh Asisten Demang disebut Fuku Gunco.[19](hlm.18) Secara struktural pemerintahan daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang dapatlah digambarkan sebagai berikut:[19](hlm.18-19) Struktur Pemerintahan Daerah Jambi Pada Masa Pendudukan Jepang Syucokan Jambi dalam menjalankan pemerintahan di daerah Jambi dibantu oleh:[19](hlm.18) Somobuco, Kepala Pemerintahan Umum. Keizabuco, Kepala Perekonomian. Keimuboco, Kepala Kepolisian. Dalam pada itu, pimpinan Angkatan Perang Jepang setelah menguasai seluruh Sumatera dipusatkan di Bukit Tinggi, dan oleh karena Panglima Angkatan Perang Jepang di Sumatera merangkap pula sebagai Kepala Pemerintahan Sipil untuk seluruh Sumatra, maka ibukota Sumatra dipindahkan dari Medan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian Syucokan Jambi tunduk kepada Gunzeikan yang berkedudukan di Bukit Tinggi.[21](hlm.198-199)[19](hlm.18) Adapun dalam hal pembagian wilayah Jambi-syu, Jepang tetap berpedoman kepada susunan wilayah zaman pemerintahan Belanda di Jambi. Oleh karena itu daerah Kerinci masih tetap masuk ke dalam Sumatra Barat. Sejalan dengan itu, maka Jambi-syu terdiri atas tujuh Bunsyu yaitu:[n] [19](hlm.18, 20) Bunsyu Jambi (Jambi) Bunsyu Tembisi (Muara Tembisi) Bunsyu Tungkal (Kuala Tungkal) Bunsyu Tebo (Muara Tebo) Bunsyu Bungo (Muara Bungo) Bunsyu Bangko (Bangko) Bunsyu Sarolangun (Sarolangun) Pada waktu Jepang menduduki daerah Jambi, maka garis politik ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah Jepang adalah sistem autarki, yakni suatu sistem di mana segala daya, tenaga serta usaha di bidang perekonomian dipusatkan untuk kepentingan perang.[19](hlm.23-24) Berdasarkan sistem autarki ini, daerah Jambi-Syu harus menjadi sumber kepentingan perang. Dalam rangka itu, pemerintahan Jepang di Jambi. Syu mengambil alih semua kegiatan dan pengawasan ekonomi, dan untuk itu dikeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat kontrol untuk mencegah timbulnya manipulasi serta meningkatkannya harga-harga barang.[o][19](hlm.24) Dalam masa ini, semua harta milik orang-orang Belanda yang ada di daerah Jambi disita oleh Jepang, antara lain perkebunan-perkebunan teh dan kopi, bank, pabrik, serta perusahaan seperti pertambangan minyak, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain.[p][19](hlm.24) Sesuai dengan kepentingan perang Jepang, maka pemerintahan Jepang di daerah Jambi-Syu mengumumkan pula barang-barang yang dianggapnya penting, yakni barang-barang yang langsung kegunaannya bagi usaha perang, dan barang-barang yang tidak langsung kegunaannya bagi usaha perang Jepang dan mencakup barang-barang untuk kehidupan dan kebutuhan rakyat.[q][19](hlm.24) Adapun barang-barang yang dianggap penting oleh Jepang antara lain seperti mobil, sepeda motor, agregat, dan berjenis-jenis barang yang terbuat dari baja, besi, dan aluminium. Untuk barang-barang yang dianggap penting ini Syucokan Jambi mewajibkan rakyat untuk melaporkannya, dan pada hakekatnya syucokan melarang memindahkan barang ke luar daerah Jambi-Syu. Barang-barang hasil perkebunan seperti teh, kopi, dan tembakau yang banyak terdapat di Kerinci dianggap sebagai barang kenikmatan, dan kurang berguna bagi usaha perang, sedangkan karet dianggap sebagai bahan penting. Oleh sebab itu kerusakan perkebunan karet di daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang relatif kecil jika dibandingkan dengan kerusakan perkebunan kopi, teh, dan tembakau. Hal ini disebabkan karena rakyat petani teh dan kopi tersebut diwajibkan menanam tanaman lainnya untuk melipatgandakan bahan pangan, di samping kewajiban untuk menanam dan memelihara tanaman jarak yang diperlukan Jepang untuk bahan pelumas.[r][19](hlm.24) Sejalan dengan politik autarki, pemerintah Jepang di daerah Jambi-Syu mengambil alih bank milik non-pribumi, dan menggantikannya dengan bank Jepang. Pajak yang tinggi dikenakan pada golongan non-pribumi karena dianggap golongan musuh Jepang di dalam perang yang sedang berlangsung. Di bidang perdagangan pemerintah Jepang menggunakan sistem monopoli, harga barang yang dijual ditentukan, dan rakyat memperoleh barang yang dibutuhkan melalui penyalur-penyalur yang telah ditentukan oleh Jepang.[s][19](hlm.25) Adanya peraturan dan pembatasan serta penguasaan sepenuhnya oleh Pemerintah merupakan ciri sistem ekonomi yang dilaksanakan oleh Jepang di daerah Jambi ketika itu.[19](hlm.25) Dengan adanya sistem autarki, rakyat daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk menanam biji-biji jarak di pinggir jalan dan di halaman rumah, pohon-pohon kopi dan teh ditebang dan rakyat diperintahkan untuk menanam pangan seperti padi, ubi, dan jagung. Di samping itu rakyat dikerahkan pula untuk melakukan romusya dan Kinrohosyi seperti membuat lubang-lubang yang diperlukan dalam perang yang dilakukan Jepang ketika itu. Sebagian rakyat lagi dipaksakan pula untuk memasuki heiho, demi pertahanan lokal dalam rangka kepentingan perang Jepang.[t] [19](hlm.27) Akibat banyaknya peraturan pembatasan dan pengawasan serta penindasan pemerintah bala tentara Jepang, rakyat di daerah Jambi sangat menderita. Perekonomian rakyat menjadi hancur, rakyat hidup dengan kemiskinan, dan kelaparan terjadi di mana- mana. Akibat adanya kelaparan tidak sedikit rakyat yang meninggal dunia pada masa ini. Kehidupan yang menyedihkan dialami oleh rakyat daerah Jambi pada masa ini, merupakan pula suatu kehidupan pahit yang belum pernah dialami pada masa-masa sebelumnya.[19](hlm.27) Di daerah Kerinci, dan daerah-daerah lain rakyat pada masa ini berpakaian tarak, yaitu pakaian yang terbuat dari bahan kulit kayu, dan banyak dijual di pasaran. Adapun kain goni sudah dianggap baik sebagai pakaian ketika ini, sedangkan kain blacu harganya sangat tinggi dan sangat sukar diperoleh, apa lagi bahan tekstil yang lebih halus dari blacu tidak dijumpai lagi untuk dapat dibeli oleh rakyat.[19](hlm.27) Perhubungan darat sebagai sarana komunikasi waktu itu, menghubungkan pula daerah Jambi dengan daerah Palembang dan Sumatra Barat yakni dengan adanya jalan-jalan yang menghubungkan daerah-daerah Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Rawas. Sedangkan jalan ke tiap daerah Son (kecamatan) ketika ini sudah dapat dilalui mobil.[u] [19](hlm.28) Adapun jenis pengangkutan daerah tradisional yang penting ketika ini antara lain ialah lusoh (sejenis pedati yang ditarik ker- bau), gerobak, dan pedati. Pengangkutan darat dengan alat-alat tersebut makin besar artinya pada masa ini, karena mobil jumlah- nya sedikit dan itu pun merupakan barang penting untuk keperluan perang Jepang, sehingga pengawasan dan penguasaan atas mobil-mobil benar-benar diatur oleh Jepang.[v] [19](hlm.28) Pengangkutan udara hampir tidak mempunyai arti dalam bidang perekonomian rakyat di daerah Jambi, walaupun ada lapangan udara Paal Merah di Jambi, namun penggunaannya lebih diutamakan untuk kepentingan tentara Jepang. Pengangkutan laut demikian pula, pada masa ini kapal-kapal dagang tidak banyak yang masuk ke daerah Jambi.[w] [19](hlm.28) Dalam struktur pemerintahan Jambi-Syu, untuk urusan dan kegiatan perekonomian dibentuk Keizabu dan kepalanya disebut Keizabuco. Keizabuco adalah pembantu syucokan untuk urusan perekonomian di dalam daerah Jambi-Syu.[19](hlm.28) Di samping Keizabu, kegiatan perekonomian dilakukan pula oleh badan-badan perusahaan Jepang di antaranya ialah:[19](hlm.28-29) Mitsubishi Kaisya (MSK) yang bergerak dalam bidang pengumpulan hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan hasil-hasil hutan. Tozan Noji, yang bergerak di lapangan pertanian dan pertenunan. Namora, perusahaan yang bergerak di lapangan pertambangan dan industri. Kawasaki Zidhozu, yang bergerak di bidang pengangkutan.[22](hlm.5) Badan-badan atau lembaga perekonomian lainnya tidak dibentuk oleh Jepang di daerah Jambi.[19](hlm.29) Pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi terjadi perubahan yang penting artinya bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran dengan dihapuskannya perbedaan pengajaran bagi golongan Belanda dan golongan Pribumi. Oleh Pemerintah Jepang diselenggarakan pendidikan dan pengajaran dengan sistem dan jenis sebagai berikut:[19](hlm.29) Hutsukogakko (Sekolah Dasar tiga tahun) Kotokogakko (Sekolah Dasar lima tahun) Cukogakko (Sekolah Lanjutan Pertama) Hoangka (Sekolah Guru) Renseika (Sekolah Guru sejenis KPG)[x] Di Sungai Penuh, Sekolah Dasar disebut Kokumin Gakko, dan dikenal juga dengan sebutan SESNI atau Sekolah Sambungan Nippon-Indonesia, dipimpin oleh Panggabean, Arsyad, dan kemudian Yakub.[23](hlm.5) [19](hlm.29) Di sekolah-sekolah pelajaran bahasa Jepang merupakan mata pelajaran wajib, sedangkan bahasa Belanda dilarang. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar mulai dilaksanakan di sekolah.[19](hlm.29) Hal itu karena bahasa Belanda dilarang oleh pemerintah Jepang, dan sebagai gantinya bahasa Jepang mulai diterapkan dalam dunia pendidikan dan pergaulan sehari-hari. Selanjutnya bahasa Indonesia mulai menonjol, karena dipergunakan secara resmi. Hal ini menggembirakan rakyat di daerah Jambi, sebab bahasa Indonesia sangat mudah dipahami, karena bahasa daerah Jambi mempunyai dasar yang sama dan tidak banyak perbedaannya dengan bahasa Indonesia. Kalaupun ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanyalah perbedaan bunyi yang manifestasinya tampak dalam dialek yang ada di dalam bahasa daerah Jambi.[19](hlm.30-31) Pada umumnya di sekolah yang diadakan Jepang ketika ini, pengajaran pengetahuan umum kurang diutamakan. Sekolah pada masa itu terutama ditujukan untuk mempelajari bahasa Jepang, taiso, olahraga, serta mementingkan pendidikan semangat. Murid-murid seringkali diharuskan melakukan kerjabakti seperti membersihkan bengkel, asrama dan mengumpulkan bahan untuk membuat pertahanan, dan sebagainya. Sebagian waktu belajar, juga dipakai untuk menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan pohon jarak, yang dapat menghasilkan bahan penting bagi kelangsungan perang.[y][19](hlm.29-30) Latihan jasmani yang berupa latihan kemiliteran mengisi sebagian besar kegiatan murid-murid setiap hari. Untuk menanamkan semangat Jepang, maka tiap hari murid-murid harus meng- ucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang dan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo.[z][19](hlm.30) Dengan demikian, keadaan sekolah serta jalan pengajaran dan pendidikan pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi, hanya dititik-beratkan kepada memperluas bahasa Jepang serta memperdalam pendidikan semangat busyido cara Jepang.[aa][19](hlm.30) Kebudayaan masyarakat daerah Jambi pada masa itu bertolak dari kebudayaan masa lalu, yang dalam segi tertentu terdapat penonjolan-penonjolan di samping ada pula yang diabaikan atau tidak memperoleh kesempatan untuk ditonjolkan sebagai akibat dari suasana politik yang dilakukan Jepang.[19](hlm.30) Seni ukir dan seni pahat, yang pada masa pemerintahan Belanda tidak dikembangkan, semakin diabaikan masyarakat pada masa pendudukan Jepang. Sedangkan seni musik, terutama musik Barat dilarang oleh Jepang, musik Jepang sebagai gantinya mulai diperkenalkan dengan mewajibkan rakyat menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Jepang. Adapun seni pencak silat pada saat ini mulai ditonjolkan karena sejalan dengan semangat perang Jepang.[19](hlm.30) Berdasarkan perkiraan pada masa pendudukan Jepang sembilan puluh tujuh persen dari pendudukan daerah Jambi adalah penganut Islam. Adapun penduduk non-Islam di daerah Jambi terdiri dari suku anak dalam, suku Bajau, dan penduduk pendatang dari Jawa, Tapanuli, Flores, dan Cina.[ab][19](hlm.31) Penduduk Jambi merupakan penganut agama Islam yang taat, walaupun begitu sisa-sisa dari kepercayaannya terhadap alam gaib dan makhluk-makhluk supernatural masih terdapat di kalangan penduduk tersebut, sebagaimana tampak dalam upacara di tempat-tempat keramat, sesajen dan mantra-mantra.[19](hlm.31) Secara keseluruhan perkembangan agama Islam pada masa ini, tidak dihalang-halangi oleh pemerintah Jepang. Madrasah-madrasah boleh berjalan seperti biasa, namun karena sulitnya penghidupan rakyat, anak-anak tidak banyak yang masuk belajar di madrasah. Kedudukan Hoofd Penghulu sebagai tokoh agama tidak diganggu-gugat oleh Jepang, dan tetap menjalankan tugasnya sebagaimana biasa. Demikian pula kedudukan guru agama pada masa-masa ini tidak diganggu Jepang, bahkan Jepang berusaha untuk mempengaruhi guru-guru, ulama, serta tokoh-tokoh agama untuk turut mempropagandakan perang suci Asia Timur Raya, supaya dimenangkan oleh Jepang.[ac] Dalam rangka inilah pimpinan Badan Penerangan Jepang untuk Asia Timur Raya mengumpulkan guru-guru agama dan melakukan pertemuan besar di Singapura.[ad][19](hlm.31) Tokoh-tokoh agama pada masa pendudukan Jepang antara lain ialah:[19](hlm.31-32) Hoofd Penghulu Ja'far. Haji Abdul Somad. KH. Sargawi. KH. Nawawi. Guru Rozali.[ae] Salah satu dari tokoh agama daerah Jambi tersebut yakni KH. Nawawi berhasil menjadi penasihat pemerintah Jepang di bidang agama untuk daerah Jambi. Dengan usahanya sebagai penasihat bidang agama, anak-anak gadis di daerah Jambi terlepas dari paksaan Jepang untuk mengikuti sekolah-sekolah Jepang.[af][19](hlm.31) Selama pendudukan Jepang di daerah Jambi, segala bentuk komunikasi massa diatur dan diawasi oleh pemerintah Jepang. Satu-satunya surat kabar daerah Jambi yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang yakni Jambi Shimbun. Sebagian besar berita dari Jambi Shimbun adalah berita-berita tentang perjalanan perang Asia Timur Raya dan menyiarkan aturan-aturan negeri.[ag][19](hlm.32) Jambi Shimbun ini dipimpin oleh Tenma, Suky, Matsoda, dan lain-lain. Selain Jambi Shimbun surat kabar lain yang beredar di daerah ini ialah Sumatra Shimbun Kai, yang diterbitkan oleh persekutuan surat kabar ke Sumatra. Sumatra Shimbun Kai ini, di bawah pengawasan Gunseikanbu bagian Hodobu (Penerangan Tentara). Selain penerbitan-penerbitan resmi dari pemerintah Jepang, maka surat kabar dan penerbitan lainnya tidak diperbolehkan oleh Jepang.[ah][19](hlm.32) Zaman Kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber] Sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, daerah Jambi secara struktural merupakan daerah keresidenan, bagian dari Provinsi Sumatra. Kemudian tatkala Sumatra terbagi atas tiga provinsi yaitu Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sumatra Tengah dan Provinsi Sumatra Selatan, maka Keresidenan Jambi yang terdiri atas Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari, dan Kotapraja Jambi masuk ke dalam propinsi Sumatra Tengah. Akan tetapi dengan adanya Undang-undang No. 61 Tahun 1958, maka Propinsi Sumatra Tengah menjelma menjadi tiga propinsi yakni: Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Jambi[ai]). Tepatnya sejak tanggal 6 Januari 1957, daerah Jambi menjadi Daerah Tingkat I yang terdiri atas satu Kotamadya dan lima Kabupaten yaitu :[19](hlm.1) Kotamadya Jambi Kabupaten Batanghari Kabupaten Tanjung Jabung Kabupaten Bungo Tebo Kabupaten Sarolangun Bangko Kabupaten Kerinci[aj]. Luas daerah Propinsi Jambi tersebut di atas diperkirakan 53.244 kilometer persegi[24], dengan jumlah penduduk 1.245.941 jiwa, terletak antara 0°45'-2°45' Lintang Selatan dan 101°10′-104°55′ Bujur Timur[24], dengan batas-batas sebagai berikut:[19](hlm.1-2) Sebelah utara dengan Provinsi Riau Sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Bengkulu. Sebelah timur dengan Selat Berhala Sebelah barat dengan Provinsi Sumatra Barat. Politik dan pemerintahan[sunting | sunting sumber] Gubernur[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Daftar gubernur Jambi Kantor Gubernur Jambi Gubernur adalah pemimpin tertinggi di pemerintahan provinsi Jambi, yang bertanggungjawab atas wilayah tersebut. Saat ini, gubernur atau kepala daerah yang menjabat di provinsi Jambi ialah Al Haris, didampingi wakil gubernur Abdullah Sani. Mereka pemenang pada Pemilihan umum Gubernur Jambi 2020. Haris merupakan gubernur Jambi ke-10. Haris dan Abdullah dilantik oleh presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Istana Negara Jakarta pada 7 Juli 2021, untuk masa jabatan 2021-2024.[25] No. Potret Gubernur Mulai menjabat Akhir menjabat Potret Wakil Gubernur Periode Referensi 10 Al Haris 7 Juli 2021 Petahana Abdullah Sani 12 (2020) [25] Kabupaten dan Kota[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Daftar kabupaten dan kota di Jambi dan Daftar kecamatan dan kelurahan di Jambi No. Kabupaten/kota Ibu kota Bupati/wali kota Luas wilayah (km2)[26] Jumlah penduduk (2022)[26] Kecamatan Kelurahan/desa Lambang Peta lokasi 1 Kabupaten Batanghari Muara Bulian Muhammad Fadhil Arief 5.387,52 307.390 8 14/110 2 Kabupaten Bungo Muara Bungo Mashuri 4.760,83 361.819 17 12/141 3 Kabupaten Kerinci Siulak Asraf (Pj.) 3.445,20 257.781 16 2/285 4 Kabupaten Merangin Bangko Jangcik Mohza (Pj.) 7.540,12 373.472 24 10/205 5 Kabupaten Muaro Jambi Sengeti Raden Najmi (Pj.) 5.225,80 422.051 11 5/150 6 Kabupaten Sarolangun Sarolangun Bahri (Pj.) 5.935,89 290.491 10 9/149 7 Kabupaten Tanjung Jabung Barat Kuala Tungkal Anwar Sadat 5.546,06 324.160 13 20/114 8 Kabupaten Tanjung Jabung Timur Muara Sabak Romi Hariyanto 4.546,62 233.102 11 20/73 9 Kabupaten Tebo Muara Tebo Varial Adhi Putra (Pj.) 6.103,74 350.234 12 5/107 10 Kota Jambi - Sri Purwaningsih (Pj.) 169,89 622.014 11 62/- 11 Kota Sungai Penuh - Ahmadi Zubir 364,92 100.249 8 4/65 Demografi[sunting | sunting sumber] Penduduk[sunting | sunting sumber] Ritual Mandi Safar di wilayah Pesisir Pantai Timur Provinsi Jambi, Desa Air Hitam Laut Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0,45° Lintang Utara, 2,45° Lintang Selatan dan antara 101,10°–104,55° Bujur Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, sebelah Timur dengan Selat Berhala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu. Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi sekitarnya membuat peran provinsi ini cukup penting terlebih lagi dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan masyarakat di kota-kota sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan kebutuhan dari provinsi ini. Luas Provinsi Jambi 50.160,05 km² dengan jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2022 berjumlah 3.631.136 jiwa[27]. Sebelumnya di tahun 2010, provinsi ini memiliki populasi sebanyak 3.088.618 jiwa (Data BPS hasil sensus 2010). Jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2006 berjumlah 2.683.289 jiwa (Data SUPAS Proyeksi dari BPS Provinsi Jambi. Jumlah Penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2005 sebesar 2.657.536 (data SUSENAS) atau dengan tingkat kepadatan 50,22 jiwa/km2. Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,96% dengan PDRB per kapita Rp9.523.752,00 (Angka sementara dari BPS Provinsi Jambi. Untuk tahun 2005, PDRB per kapita sebesar Rp8.462.353). Sedangkan sebanyak 46,88% dari jumlah tenaga kerja Provinsi Jambi bekerja pada sektor pertanian, perkebunan dan perikanan; 21,58% pada sektor perdagangan dan 12,58% pada sektor jasa. Dengan kondisi ketenagakerjaan yang sebagian besar masyarakat di provinsi ini sangat tergantung pada hasil pertanian,perkebunan sehingga menjadikan upaya pemerintah daerah maupun pusat untuk mensejahterakan masyarakat adalah melalui pengembangan sektor pertanian Jumlah Penduduk (2022)[sunting | sunting sumber] Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah 1501. Kerinci 127.245 126.618 253.863 1502. Merangin 181.850 175.727 357.577 1503. Sarolangun 152.133 145.958 298.091 1504. Batang Hari 160.228 152.981 313.209 1505. Muaro Jambi 212.776 200.054 412.830 1506. Tanjung Jabung Timur 119.368 114.796 234.164 1507. Tanjung Jabung Barat 167.242 157.214 324.456 1508. Tebo 177.090 167.726 344.816 1509. Bungo 190.083 183.261 373.344 1571. Jambi 311.616 307.937 619.553 1572. Sungai Penuh 49.638 49.595 99.233 1500. Provinsi Jambi 1.849.269 1.781.867 3.631.136 Suku bangsa[sunting | sunting sumber] Rumah Panggung Kajang Lako, rumah adat Jambi Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari masyarakat asli Jambi dan juga pendatang. Penduduk asli provinsi Jambi termasuk Suku Melayu Jambi, Batin, Penghulu, Pindah, Kerinci dan Suku Anak Dalam.[28] Suku Batin dan Penghulu kebudayaannya berunsur Melayu dan beberapa mengalami perpaduan dengan budaya Minangkabau, banyak bermukim di Kabupaten Bungo, Merangin, Tebo, dan Sarolangun. Sedangkan Suku Pindah, kebudayaannya perpaduan Melayu dan budaya Palembang yang bermukim dibeberapa kecamatan di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun. Sementara Suku Kerinci berada di daerah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Adat istiadat dan budaya Suku Kerinci masih serumpun atau dekat dengan Minangkabau yang juga menganut sistem matrilineal. Festival Tudung Lingkup di Kota Jambi Seberang Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010, provinsi Jambi jumlah penduduknya 3.069.771 jiwa. Penduduk asli provinsi Jambi yakni Suku Jambi sudah termasuk semua sub-suku Melayu Jambi (Batin, Penghulu, Pindah) merupakan etnis terbanyak yakni sebanyak 1.083.396 jiwa (35,30%) dan suku Kerinci berada di urutan ketiga, sebanyak 254.125 jiwa (8,27%). Kemudian etnis pendatang terbanyak berasal dari etnis Jawa sebanyak 893.156 jiwa (29,10%). Selain itu juga ada suku yang berasal dari suku Melayu di luar orang Jambi sebanyak 164.979 jiwa (5,37%), kemudian Minangkabau sebanyak 163.760 jiwa (5,33%), Batak 106.249 jiwa (3,46%), Banjar 102.237 jiwa (3,33%), Bugis 96.145 jiwa (3,13%), Sunda 79.203 jiwa (2,58%), asal Sumatera Selatan 57.663 jiwa (1,88%), Tionghoa 37.246 jiwa (1,21%) dan suku lain lainnya 31.612 (1,04%).[29] Suku bangsa di provinsi Jambi tahun 2010 No Suku Jumlah 2010 % 1 Jambi 1.083.396 35,30% 2 Jawa 893.156 29,10% 3 Kerinci 254.125 8,27% 4 Melayu di luar Jambi 164.979 5,37% 5 Minangkabau 163.760 5,33% 6 Batak 106.249 3,46% 7 Banjar 102.237 3,33% 8 Bugis 96.145 3,13% 9 Sunda 79.203 2,58% 10 asal Sumatera Selatan 57.663 1,88% 11 Tionghoa 37.246 1,21% 12 Suku Lainnya 31.612 1,04% Provinsi Jambi 3.069.771 100% Agama[sunting | sunting sumber] Sebagian besar masyarakat Jambi memeluk agama Islam yaitu sebesar 95,07%, sedangkan selebihnya merupakan pemeluk agama Kristen 3,95% di mana Protestan sebesar 3,37% dan Katolik sebesar 0,58%. Sebagian lagi memeluk agama Buddha yakni 0,89%, kemudian penganut kepercayaan sebanyak 0,06%, Konghucu sebanyak 0,02% dan sebagian kecil pemeluk agama Hindu sebanyak 0,01%, yang umumnya berada di Kota Jambi.[1] Agama Islam umumnya dianut etnis asli provinsi Jambi yakni Melayu Jambi yang banyak tinggal di Sarolangun, Kerinci, Tanjung Tebo. Kemudian etnis Jawa, Sunda, Sunda, Bugis dan Minang sebagai etnis pendatang juga kebanyakan memeluk agama Islam. Sementara agama Kristen (Protestan dan Katolik) umumnya dianut oleh penduduk etnis Batak, Nias, dan sebagian Tionghoa. Agama Buddha dan Konghucu dianut penduduk etnis Tionghoa, sedangkan sebagian kecil pemeluk agama Hindu berasal dari etnis Bali dan peranakan India. Bahasa[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Bahasa di Jambi Di Provinsi Jambi, terdapat berbagai macam bahasa yang digunakan oleh penduduknya, yaitu bahasa Indonesia, Bahasa Melayu (dialek Jambi), Bajau Tungkal Satu, Banjar, Bugis, Jawa, Kerinci,dan Minangkabau.[30] Tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat bahasa yang belum terpetakan karena melihat dari luas wilayah, batas wilayah, sejarah, hingga perkembangan Provinsi Jambi. Bahasa-bahasa yang ada di daerah Jambi sejalan dengan penyebaran penduduknya, sehingga bahasanya ditemukan pada daerah tertentu dan memiliki ciri khas dialeknya masing-masing.[31] Dari sekian banyak bahasa, bahasa Melayu dan bahasa kerinci merupakan bahasa asli provinsi Jambi. Bahasa Melayu yang dominan digunakan masyarakat provinsi Jambi adalah Bahasa Melayu Jambi. Bahasa Melayu Jambi juga sebagai pemersatu dialek bahasa Melayu didaerah setiap kabupaten/kota,dan juga digunakan untuk berinteraksi antar suku yang ada di provinsi Jambi. Perekonomian[sunting | sunting sumber] Prangko Republik Indonesia bertema Provinsi Jambi (2010). Dengan kondisi suhu udara berkisar antara 23 °C sampai dengan 34 °C dan luas wilayah 53,435 km2 di antaranya sekitar 60% lahan merupakan kawasan perkebunan dan kehutanan yang menjadikan kawasan ini merupakan salah satu penghasil produk perkebunan dan kehutanan utama di wilayah Sumatra. Kelapa sawit dan karet menjadi tanaman perkebunan primadona dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 400.168 hektare serta karet mencapai 595.473 hektare. Sementara itu, nilai produksi kelapa sawit sebesari 898,24 ribu ton pertahun. Hasil perkebunan lainnya adalah karet, dengan jumlah produksi 240,146 ribu ton per tahun, kelapa dalam (virgin coconut) 119,34 ribu ton per tahun, casiavera 69,65 ribu ton per tahun, serta teh 5,6 ribu ton per tahun. Sementara produksi sektor pertanian yang dihasilkan oleh kawasan bagian barat Provinsi Jambi yaitu beras kerinci, kentang, kol/kubis, tomat, dan kedelai. Potensi kekayaan alam di Provinsi Jambi adalah minyak bumi, gas bumi, batubara dan timah putih. Jumlah potensi minyak bumi Provinsi Jambi mencapai 1.270,96 juta m3 dan gas 3.572,44 miliar m3. Daerah cadangan minyak bumi utama di struktur Kenali Asam, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi dengan jumlah cadangan minyak 408,99 juta barrel. Sedangkan cadangan gas bumi utama di Struktur Muara Bulian, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari dengan jumlah cadangan 2.185,73 miliar m3. [butuh rujukan] Potensi Ekonomi[sunting | sunting sumber] Minyak bumi[sunting | sunting sumber] Cadangan minyak bumi Provinsi Jambi sebesar 1.270,96 juta m3. Cadangan minyak bumi antara lain terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, struktur Kenali Asam, Kecamatan Jambi Luar Kota dan Kabupaten Muaro Jambi. Gas bumi[sunting | sunting sumber] Cadangan gas bumi Provinsi Jambi sebesar 3.572,44 miliar m3. Cadangan tersebut sebagian besar terdapat di Struktur Muara Bulian, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari dengan jumlah cadangan 2.185,73 miliar m3. Batu bara[sunting | sunting sumber] Cadangan batubara Provinsi Jambi sebesar 18 juta ton, yang merupakan batubara kelas kalori sedang yang cocok digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik. Cadangan terbesar dijumpai di Kabupaten Bungo. Perkebunan[sunting | sunting sumber] Komoditas perkebunan yang sangat dominan adalah Karet dan Kelapa Sawit. Hal ini didukung dengan program Pemerintah Derah Provinsi Jambi yaitu “Pengembangan Kelapa Sawit Sejuta Hektar” serta “Replanting Karet”. Selain itu, casiavera juga banyak dibudidayakan terutama di daerah Kerinci.[32] Pariwisata[sunting | sunting sumber] Artikel utama: Daftar tempat wisata di Jambi Potensi Wisata[sunting | sunting sumber] Situs Candi Muaro Jambi
Data diambil dari WikiPedia.
Peta Provinsi JAMBI
Kode Pos Surabaya - Kode Pos Jember - Kode Pos Jakarta - Kode Pos Bandung - Kode Pos Yogyakarta - Kode Pos Semarang - Kode Pos Aceh - Kode Pos Mataram - Kode Pos Denpasar - Kode Pos Pasuruan - Kode Pos Lumajang - Kode Pos Ambon - Kode Pos Minahasa Selatan - Kode Pos Banyuwangi - Kode Pos Bali - Kode Pos Banjarmasin - Kode Pos Pangkal Pinang - Kode Pos Maluku - Kode Pos Medan - Kode Pos Bekasi - Kode Pos Manokwari - Kode Pos Manado - Kode Pos PALANGKA RAYA - Kode Pos Jambi - Kode Pos Pekan Baru - Kode Pos Gorontalo - Kode Pos Bogor - Kode Pos Sukoreno - Kode Pos Situbondo